ZAKAT HASIL PERTANIAN DENGAN MENYEWA

Pertanyaan: Bagaimana penghitungan zakat hasil pertanian/sawah jika tanahnya bukan milik sendiri, melainkan hasil sewaan? Saat panen, kebanyakan petani di daerah kami tidak langsung menjual hasil panennya dikarenakan tengkulak pasti membelinya dengan harga yang relatif murah. Maka, petani menahan hasil panen 2-3 bulan supaya mendapat keuntungan mengingat biaya operasional pertanian yang mahal. Pertanyaan kami, apakah penahanan gabah tersebut termasuk kategori penimbunan?…

Jawaban: Pertama, dalam Islam, ada beberapa jenis akad terkait pengelolaan lahan persawahan dan perkebunan. Di antaranya sebagai berikut.

  1. Al-muzara’ah, yaitu pemilik tanah meminta kepada pihak kedua untuk mengelola tanahnya. Bibit pertanian menjadi tanggung jawab atau kewajiban pemilik tanah. Pihak kedua (pengelola) mendapatkan jatah bagi hasil atas hasil pertanian atau perkebunan. Para ulama membolehkan sistem ini. Menurut sebagian ulama, sistem pencapaian nisabnya menjadi tergabung. Artinya, apabilaseluruh hasil panen mencapai nisab, berarti zakatnya wajib dikeluarkan. Hanya saja, masing-masing menzakati jatah yang menjadi hak masing-masing. Pihak pemilik tanah menzakati yang menjadi haknya, pengelola juga menzakati jatah panen yang menjadi haknya.
  2. Kira’ul ard atau ijarah dengan pembayaran uang dan sejenisnya, yaitu pemilik tanah menyewakan ke pihak kedua dengan nilai x sampai pada tahun y. Hasil panen dari tanah yang disewa sepenuhnya menjadi hak penyewa. Untuk sistem ini, zakat hasil panen sepenuhnya menjadi kewajiban pengelola sawah. Sedangkan pihak pemilik tanah hanya menzakati uang sewa tanah yang ia terima. Para ulama memang berbeda pendapat tentang zakat hasil sewa properti. Sebagian ulama mengatakan bahwa zakatnya adalah zakat pertanian. Sedangkan ulama yang lain berpandangan zakatnya adalah zakat emas dan perak tanpa menunggu haul.
  3. Kira’ul ard, yaitu menyewakan tanah dengan pembayaran sebagian dari hasil tanah yang disewakan. Ilustrasinya, pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada pihak kedua, lalu pihak kedua mengelola tanah tersebut dengan ditanami padi. Pembayaran sewa tanah itu berupa bagi hasil panen antara pihak pemilik tanah dan pengelola.

Sebagian ulama membolehkan sistem semacam ini. Ulama kontemporer membolehkannya, tetapi ada juga sebagian mereka yang tidak membolehkan. Karena itu, menurut sebagian ulama, penghitungan zakatnya sama dengan penghitungan sistem muzara’ah di mana pencapaian nisabnya tergabung sehingga masing-masing pihak menzakati jatah mereka.

Kedua, Allah l melarang penimbunan barang yang menjadi kebutuhan publik. Para ulama memiliki kriteria yang berbeda tentang penimbunan sehingga tidak semua penimbunan termasuk kriteria penimbunan yang terlarang. Di antara kriteria penimbunan yang terlarang adalah sebagai berikut.

  1. Kebutuhan pokok.
  2. Memperoleh barang dengan membeli.
  3. Melakukan pembelian pada saat sulit.
  4. Ada jangka waktu dalam menyimpan barang untuk menaikkan harga.

Berdasarkan syarat-syarat di atas, seorang petani yang menangguhkan penjualan panennya untuk menunggu stabilitas harga tidak termasuk orang yang menimbun. Wallahualam.

Previous
Next

Kabar Kebaikan Lainnya

Dompet Dhuafa Jawa Tengah

Jl. Pamularsih Raya No.18 C, Bojongsalaman, Kec. Semarang Bar. Kota Semarang Jawa Tengah

0815 7798 783 – (024) 7623884

Kantor Unit Purwokerto

Jl. Yayasan No.1, Berkoh, Kec. Purwokerto Sel., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah 53146

0811 2890 287 – (0281) 632543

Kantor Unit Solo

Perumahan Citra Pesona Indah 1 – Gedongan rt04/06, Gedongan, Colomadu, Karanganyar Regency, Central Java 57173

0815 7798 783 – (024) 7623884

 

Ikuti Kami