Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sejumlah bencana yang terjadi ditanah air ditengarai dampak dari perubaahan iklim atau bencana alam meteorologi, yakni bencana alam yang terjadi karena adanya perubahan iklim atau cuaca. Banjir, badai siklon, badai tropis, kekeringan, hanya contoh sebagian yang saat ini sering kita hadapi akhir-akir ini. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dikutip dari laman databoks.katadata.co.id terdapat 3.318 peristiwa bencana alam yang terjadi di seluruh Indonesia sejak awal tahun hingga 4 Desember 2022.
Banjir menduduki angkat kejadian tertinggi (1.420 kejadian atau 42,8). Walaupun jumlah ini lebih sedikit dibandingkan tahun 2021, yang berdasarkan data BNPB teradapat 5.402 kejadian bencana dan didominasi bencan banjir dengan 1794 kejadian, namun isu perubahan iklim semestinya juga menjadi perhatian semua pihak. Para pengelola OPZ (organisasi pengelola zakat) baik LAZ (Lembaga Amil Zakat) maupun BAZ (Badan Amil Zakat) sudah semestinya menjadikan isu perubahan iklim ini masuk dalam agenda strategis pengalolaan zakat. Jika saat ini sebagian besar kontribusi OPZ dalam respon kebencanaannya masih berfokus pada bantuan kemanusiaan jangka pendek, dan recovery pasca bencana (pembangunan fisik, dan lain sebagainya). Namun OPZ semestinya lebih banyak dalam mobilisasi dana zakat untuk menghadapi tantangan jangka panjang, terutama akibat perubahan iklim yang dilansir sejumlah peneliti akan menjadi pendorong krisis kemanusiaan paling besar.
Dalam jurnal International Journal of Environmental Research and Public Health (disadur dari laman ditjenppi.menlhk.go.id) yang diterbitkan tahun 2018, terdapat temuan studi ini adalah bahwa efek perubahan iklim terhadap bencana alam diperkirakan bakal meningkatkan krisis kemanusiaan. Organisasi kesehatan dan kemanusiaan, lembaga yang mengurus keadaan darurat, dan institusi pendidikan disarankan bahkan (keharusan) untuk menyiapkan diri menghadapi bencana akibat perubahan iklim
Adalah Muhammad bin Abdul Karim Issa Muhammad bin Abdul Karim Issa, Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia-Muslim World League (MWL) yang lantang mengungkapkan pendapynya tentang dana zakat untuk mengatasi perubahan iklim, yang sampaikan dalam kolom opini di laman The Star pada pertengahan 2021 lalu. Menurut Ali, berdasarkan perhiungannya, zakat yang saat ini dihimpun sekitar satu triliun dolar per tahun (lebih dari lima puluh kali lipat dari 19 miliar dolar) COP26- the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021, yang berkomitmen untuk mengatasi deforestasi. Dengan capaian zakat tersebut cukup untuk membantu PBB memenuhi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan SDGs 13 Climate Action (Penanganan Perubahan Iklim).
Kontribusi zakat dalam SDGs sejatinya sudah mulai didengungkan oleh para pegiat filantropi dan pemerintah. Pada 2017 Bappenas bersama lembaga filantropi menginisiasi penyusunan buku “Fiqh Zakat on SDGs” sebagai panduan sekaligus praktik pengelolaan zakat untuk mendukung SDGs. Namun dengan isu kemiskinan yang lebih darurat di sekitar kita (dengan angka jurang kemiskinan yang semakin tinggi) agaknya mimpi Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia, Muhammad bin Abdul Karim Issa untuk menjadikan gerakan penanganan perubahan iklim melalui lembaga zakat (atau bahkan didanai dari dana zakat) akan sulit. Ada skala prioritas yang harus disegerakan dalam penyaluran, yaitu apabila ada jiwa-jiwa yang terancam agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya (maqasyid syariah).
Walau saat ini kajian-kajian zakat dan SDGs sudah banyak, zakat dalam SDGs yang palimg umum dilakukan praktinya hanya di tiga isu besar: kemiskinan, pendidikan, kesehatan. Dalam problematika kebutuhan darurat dasar, zakat dan SDGs memiliki dimensi sedikit berbeda. Zakat adalah mekanisme pengabdian seorang muslim kepadawujud ketaatan seorang muslim akan perintah Tuhan dan Rosul nya yang dampak sosial nya masih dalam batasan dimensi 8 asnaf (golongan) penerima zakat, sementara Climate Action sebagai tujuan ke 13 dari SDGs ini memiliki dimensi global.
Namun demikian, menilik potensi zakat dunia maupun di Indonesia yang besar, serta kemajuan dan peran para Mujtahid yang tidak hanya berfokus pada dimensi syar’i, peluang dan harapan masih ada.z Yaitu Zakat dapat memenuhi tujuan yang lebih luas dan mengatasi ketimpangan (kemiskinan) akibat perubahan iklim (akibat bencana alam meteorologi. OPZ, pemerintah selaku pemangku kebijakan (regulator), akademisi serta organisasi-organisasi pengeloa zakat harus lebih banyak meibatkan para mujtajid dalam diskursus-diskursus ini. Karena kemiskinan, ketidakberdayaan, yang dialami umat muslim tidak selalu datang dari kultur mereka, tetapi juga lingkungan.
Kita tentu masih ingat bagaimana petani Nigeria kehilangan hampir 79% penghasilan utamanya, dan yang terburuk adalah para petani kehilangan seluruh penghasilannya (beritasatu.com). Bagaimana jika hal ini terjadi di Indonesia, dimana sebagian besar mereka bahkan belum sejahtera dengan hasil dari pertaniannya. Mereka yang jika paceklik karena kemarau melanda bahkan kesulitan untuk bertahan hidup, hutang semakin menumpuk. Bagaiman jika perubahan iklim menghancurkan semua sumber daya satu-satunya yang dimiliki oleh merka yang masih dianatara dan dubawah garis kemiskinan? Bukankah ini tidak hanya mengancam jiwa, harta, tetapi juga masa depan manusia (keturunan).
Ditulis oleh Titi Ngudiati
Pegiat zakat Dompet Dhuafa
Tinggal di Purwokerto, Banyumas, Jateng